Gajah Mada
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Gajah Mada terkenal dengan sumpahnya, yaitu
Sumpah Palapa, yang tercatat di dalam
Pararaton.
[5] Ia menyatakan tidak akan memakan
palapa sebelum berhasil menyatukan
Nusantara.
Meskipun ia adalah salah satu tokoh sentral saat itu, sangat sedikit
catatan-catatan sejarah yang ditemukan mengenai dirinya. Wajah
sesungguhnya dari tokoh Gajah Mada, saat ini masih kontroversial.
[6] Pada masa sekarang,
Indonesia telah menetapkan Gajah Mada sebagai salah satu
Pahlawan Nasional dan merupakan simbol
nasionalisme[7] dan persatuan Nusantara.
[8]
Sebuah arca yang diduga menggambarkan rupa Gajah Mada. Kini disimpan di museum
Trowulan, Mojokerto.
Tidak ada informasi dalam sumber sejarah yang tersedia saat pada awal
kehidupannya, kecuali bahwa ia dilahirkan sebagai seorang biasa yang
naik dalam awal kariernya menjadi Begelen atau setingkat kepala pasukan
Bhayangkara pada Raja Jayanagara (1309-1328) terdapat sumber yang
mengatakan bahwa
Gajah Mada bernama lahir
Mada[9] sedangkan nama
Gajah Mada[10] kemungkinan merupakan nama sejak menjabat sebagai patih.
[11]
Dalam pupuh
Désawarnana atau
Nāgarakṛtāgama karya
Prapanca yang ditemukan saat penyerangan Istana Tjakranagara di Pulau Lombok pada tahun
1894[12] terdapat informasi bahwa Gajah Mada merupakan patih dari
Kerajaan Daha dan kemudian menjadi patih dari
Kerajaan Daha dan
Kerajaan Janggala
yang membuatnya kemudian masuk kedalam strata sosial elitis pada saat
itu dan Gajah Mada digambarkan pula sebagai "seorang yang mengesankan,
berbicara dengan tajam atau tegas, jujur dan tulus ikhlas serta
berpikiran sehat".
[4][13][14]
Pada tahun
1329, Patih Majapahit yakni
Aryo Tadah
(Mpu Krewes) ingin mengundurkan diri dari jabatannya. Dan menunjuk
Patih Gajah Mada dari Kediri sebagai penggantinya. Patih Gajah Mada
sendiri tak langsung menyetujui, tetapi ia ingin membuat jasa dahulu
pada Majapahit dengan menaklukkan
Keta dan
Sadeng yang saat itu sedang memberontak terhadap Majapahit. Keta dan Sadeng pun akhirnya dapat ditaklukan. Akhirnya, pada tahun
1334, Gajah Mada diangkat menjadi
Mahapatih secara resmi oleh
Ratu Tribhuwanatunggadewi (
1328-
1351) yang waktu itu telah memerintah Majapahit setelah terbunuhnya Jayanagara.
[sunting] Sumpah Palapa
Ketika pengangkatannya sebagai patih Amangkubhumi pada tahun 1258 Saka (
1336 M) Gajah Mada mengucapkan
Sumpah Palapa yang berisi bahwa ia akan menikmati
palapa atau rempah-rempah (yang diartikan kenikmatan duniawi) bila telah berhasil menaklukkan
Nusantara. Sebagaimana tercatat dalam kitab
Pararaton dalam teks
Jawa Pertengahan yang berbunyi sebagai berikut
[15]
“ |
Sira Gajah Mada pepatih
amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah
nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram,
Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang,
Tumasik, samana ingsun amukti palapa |
” |
bila dialih-bahasakan mempunyai arti
[15] :
“ |
Beliau, Gajah Mada sebagai
patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa, Gajah Mada berkata bahwa
bila telah mengalahkan (menguasai) Nusantara, saya (baru akan)
melepaskan puasa, bila telah mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura,
Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya
(baru akan) melepaskan puasa |
” |
Walaupun ada sejumlah pendapat yang meragukan sumpahnya, Gajah Mada
memang hampir berhasil menaklukkan Nusantara. Dimulai dengan penaklukan
ke daerah
Swarnnabhumi (
Sumatera) tahun
1339, pulau
Bintan,
Tumasik (sekarang
Singapura),
Semenanjung Malaya, kemudian pada tahun
1343 bersama dengan
Arya Damar menaklukan
Bedahulu (di
Bali) dan kemudian penaklukan
Lombok, dan sejumlah negeri di
Kalimantan seperti
Kapuas,
Katingan,
Sampit, Kotalingga (
Tanjunglingga),
Kotawaringin,
Sambas,
Lawai,
Kendawangan,
Landak,
Samadang,
Tirem,
Sedu,
Brunei,
Kalka,
Saludung,
Sulu,
Pasir,
Barito,
Sawaku,
Tabalung,
Tanjungkutei, dan
Malano.
Pada zaman pemerintahan
Prabu Hayam Wuruk (1350-1389) yang menggantikan Tribhuwanatunggadewi, Gajah Mada terus melakukan penaklukan ke wilayah timur seperti
Logajah,
Gurun, Sukun,
Taliwung,
Sapi,
Gunungapi,
Seram,
Hutankadali,
Sasak,
Bantayan,
Luwu,
Makassar,
Buton,
Banggai, Kunir,
Galiyan,
Salayar,
Sumba, Muar (
Saparua),
Solor,
Bima, Wandan (
Banda),
Ambon,
Wanin, Seran,
Timor, dan
Dompo.
[sunting] Perang Bubat
Dalam
Kidung Sunda[18] diceritakan bahwa
Perang Bubat (
1357) bermula saat Prabu Hayam Wuruk mulai melakukan langkah-langkah diplomasi dengan hendak menikahi
Dyah Pitaloka putri
Sunda
sebagai permaisuri. Lamaran Prabu Hayam Wuruk diterima pihak Kerajaan
Sunda, dan rombongan besar Kerajaan Sunda datang ke Majapahit untuk
melangsungkan pernikahan agung itu. Gajah Mada yang menginginkan Sunda
takluk, memaksa menginginkan Dyah Pitaloka sebagai persembahan pengakuan
kekuasaan Majapahit. Akibat penolakan pihak Sunda mengenai hal ini,
terjadilah pertempuran tidak seimbang antara pasukan Majapahit dan
rombongan Sunda di Bubat; yang saat itu menjadi tempat penginapan
rombongan Sunda. Dyah Pitaloka bunuh diri setelah ayah dan seluruh
rombongannya gugur dalam pertempuran. Akibat peristiwa itu
langkah-langkah diplomasi Hayam Wuruk gagal dan Gajah Mada dinonaktifkan
dari jabatannya karena dipandang lebih menginginkan pencapaiannya
dengan jalan melakukan invasi militer padahal hal ini tidak boleh
dilakukan.
Dalam
Nagarakretagama diceritakan hal yang sedikit berbeda. Dikatakan bahwa
Hayam Wuruk sangat menghargai Gajah Mada sebagai
Mahamantri Agung yang wira, bijaksana, serta setia berbakti kepada negara. Sang raja menganugerahkan dukuh "
Madakaripura" yang berpemandangan indah di
Tongas, Probolinggo,
kepada Gajah Mada. Terdapat pendapat yang menyatakan bahwa pada 1359,
Gajah Mada diangkat kembali sebagai patih; hanya saja ia memerintah dari
Madakaripura.
[19]
Disebutkan dalam
Kakawin Nagarakretagama bahwa sekembalinya
Hayam Wuruk dari upacara keagamaan di
Simping, ia menjumpai bahwa Gajah Mada telah sakit. Gajah Mada disebutkan meninggal dunia pada tahun 1286 Saka atau
1364 Masehi.
Raja Hayam Wuruk kehilangan orang yang sangat diandalkan dalam
memerintah kerajaan. Raja Hayam Wuruk pun mengadakan sidang Dewan Sapta
Prabu untuk memutuskan pengganti Gajah Mada. Namun tidak ada satu pun
yang sanggup menggantikan Patih Gajah Mada. Hayam Wuruk kemudian memilih
empat Mahamantri Agung dibawah pimpinan Punala Tanding untuk
selanjutnya membantunya dalam menyelenggarakan segala urusan negara.
Namun hal itu tidak berlangsung lama. Mereka pun digantikan oleh dua
orang mentri yaitu Gajah Enggon dan Gajah Manguri. Akhirnya Hayam Wuruk
memutuskan untuk mengangkat Gajah Enggon sebagai Patih Mangkubumi
menggantikan posisi Gajah Mada.
[sunting] Penghormatan
Lukisan kontemporer Gajah Mada karya I Nyoman Astika.
Sebagai salah seorang tokoh utama Majapahit, nama Gajah Mada sangat terkenal di masyarakat
Indonesia pada umumnya. Pada masa awal kemerdekaan, para pemimpin antara lain
Sukarno
sering menyebut sumpah Gajah Mada sebagai inspirasi dan "bukti" bahwa
bangsa ini dapat bersatu, meskipun meliputi wilayah yang luas dan budaya
yang berbeda-beda. Dengan demikian, Gajah Mada adalah inspirasi bagi
revolusi nasional Indonesia untuk usaha kemerdekaannya dari kolonialisme
Belanda.
Universitas Gadjah Mada di
Yogyakarta adalah universitas negeri yang dinamakan menurut namanya.
Satelit telekomunikasi Indonesia yang pertama dinamakan
Satelit Palapa,
yang menonjolkan perannya sebagai pemersatu telekomunikasi rakyat
Indonesia. Banyak kota di Indonesia memiliki jalan yang bernama Gajah
Mada, namun menarik diperhatikan bahwa tidak demikian halnya dengan
kota-kota di Jawa Barat.
Buku-buku fiksi kesejarahan dan sandiwara radio sampai sekarang masih
sering menceritakan Gajah Mada dan perjuangannya memperluas kekuasaan
Majapahit di nusantara dengan Sumpah Palapanya, demikian pula dengan
karya seni patung, lukisan, dan lain-lainnya.